Kilang Pertamina Membangun Bisnis Rendah Karbon

Kilang Pertamina Membangun Bisnis Rendah Karbon

Rangka Berita – PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) menyebutkan pihaknya tidak hanya memaksimalkan kilang eksisting, namun juga membangun bisnis rendah karbon.

Pelaksana Tugas Harian Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis KPI Prayitno, dalam keterangannya di Jakarta kamis, mengatakan perusahaan akan terus melakukan inovasi maupun efisiensi untuk mendukung ketahanan energi nasional sejalan Astacita Presiden Prabowo Subianto.

Menurut dia, sebagai bagian dari PT Pertamina (Persero), KPI juga menerapkan strategi pertumbuhan ganda.

Pertama, memaksimalkan bisnis eksisting saat ini (legacy business), dan kedua adalah membangun bisnis rendah karbon (low carbon).

Terkait dengan biofuel, KPI mengimplementasikan melalui sejumlah strategi.

Pertama melalui co-processing yaitu bahan baku nabati diproses melalui pencampuran dengan bahan baku fosil pada fasilitas eksisting.

Dengan strategi ini, KPI menghasilkan bioavtur Pertamina Sustainable Aviation Fuel (SAF) 2,4 persen yang berbahan baku minyak inti sawit atau refined bleached deodorized palm kernel oil.

Selanjutnya, conversion, yaitu bahan baku nabati 100 persen di proses menjadi bahan bakar.

Pada strategi ini, KPI memproduksi biodiesel 100 persen jenis hydrotreated vegetable oil (HVO) dengan produk Pertamina Renewable Diesel (RD).

Prayitno mengungkapkan pihaknya juga telah mengembangkan green refinery yang dapat mengolah bahan baku generasi kedua, berupa limbah nabati salah satunya adalah minyak jelantah.

“Proses produksinya di lakukan di Kilang Cilacap dan akan di kembangkan di Kilang Dumai dan Balongan,” ujar Prayitno, yang juga Direktur Manajemen Risiko KPI.

Kilang Pertamina Unit Cilacap telah melakukan lifting atau pengiriman perdana produk SAF, yakni avtur berbahan baku campuran used cooking oil (UCO) atau minyak jelantah.

Prayitno mengatakan proyek Green Refinery Cilacap ini merupakan strategis mempercepat transisi menuju energi terbarukan dan berkontribusi pada pengurangan emisi karbon.

“Minyak jelantah bisa menciptakan added value. Kami sedang menyiapkan unit produksi baru di Kilang Cilacap untuk produksi SAF, pasarnya bisa dari dalam negeri maupun luar negeri,” kata dia lagi.

Ia juga menjelaskan langkah tersebut memiliki multiplier effect. Seperti penciptaan lapangan kerja, peningkatan produksi, dan bertambahnya nilai tambah di dalam negeri.

“Upaya ini merupakan upaya untuk mendorong transformasi ekonomi berbasis sektor strategis, termasuk energi dan mineral. Selain mendukung pertumbuhan ekonomi, strategi ini juga bertujuan mewujudkan ketahanan energi nasional yang berkelanjutan,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan upaya hilirisasi telah di lakukan Kilang Pertamina sebelum terbit aturan hilirisasi.

“Sebelum ada regulasi hilirisasi, teman-teman di Kilang Pertamina sudah melakukannya. Fakta dan data di internasional saat ini justru kapasitas kilang bertambah, hanya produknya geser ke petrokimia,” katanya.

Menurut Komaidi, di kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia, produk kilang masih bahan bakar minyak (BBM).

Kalau melihat tren tersebut, bisnis kilang akan terus ada dan tidak akan selesai.

“Artinya, mereka masih bisa switching dari produk BBM ke petrokimia,” katanya pula.

Komaidi juga mengakui kompleksitas pengembangan kilang cukup tinggi, di samping memerlukan investasi besar.

Ia menjelaskan kompleksitas pembangunan kilang bisa mencapai 10-15 kali lipat lebih tinggi di bandingkan industri manufaktur.

Berdasarkan Nelson Complexity Index (NCI), indeks, yang di gunakan untuk mengukur kompleksitas kilang minyak bumi, Kilang Pertamina Unit Cilacap terbesar di antara yang lainnya.